Translate

Sabtu, 25 Maret 2017

Kemampuan Bertanggung Jawab

Sudah cukup lama dari terakhir kali saya update blog hingga hari ini, dikarenakan satu dan lain hal yang cukup menyita waktu dan pikiran saya.Terpujilah Tuhan, karena semuanya perlahan-lahan menjadi semakin baik, sehingga saya baru bisa update lagi sekarang. Dan karena blog ini adalah blog yang saya khususkan untuk membahas materi kuliah, jadi sangat tidak profesional jika memposting ataupun membahas masalah personal disini.

Materi kali ini, saya akan bahas mengenai "Kemampuan Bertanggung Jawab".

Secara umum, kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai keadaan jiwa atau keadaan batin seseorang yang merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dan sangat diperlukan untuk menentukan dapat tidaknya dijatuhkan pidana kepada pelaku. 

Dalam KUHP tidak dijelaskan dengan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan prinsip bahwa setiap orang harus dianggap mampu bertanggung jawab. Sebaliknya, KUHP dalam pasal 44 ayat (1) justru merumuskan keadaan seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab sehingga tidak dapat dipidana. Artinya, seseorang dianggap mampu bertanggung jawab apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP sebagai berikut :
"Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.". jadi harus dibuktikan ketidakmampuan bertanggungjawab dan bukan sebaliknya.

Dapat dikatakan, terdapat dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu keadaan mampu membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak, yaitu keadaan mampu menyesuaikan tingkah laku dengan keinsyafan mengenai apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.

Dalam ketentuan pasal 44 ayat (1) KUHP, dokterlah yang menentukan ada atau tidaknya sebab-sebab yang dicantumkan dalam pasal 44 KUHP, sedangkan hakim bertugas menilai apakah dengan sebab-sebab tersebut, pelaku mampu bertanggungjawab atau tidak.

Untuk dapat menjadi perhatian bersama, sering terjadi kekeliruan dalam hal ini, untuk itu perlu dipahami bahwa kemampuan bertanggungjawab bukan lah unsur untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana, karena untuk terjadinya tindak pidana tidak dipersoalkan mengenai ada atau tidaknya kemampuan bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab menjadi hal yang sangat penting dalam hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana (kongkrit). Untuk terjadinya tindak pidana sudah cukup dibuktikan dengan semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan. Yang perlu digaris bawahi adalah, kata "penjatuhan pidana". Terjadinya tindak pidana tidak selalu harus diikuti dengan dipidananya pelaku.

Berdasarkan hal ini, maka akibat hukum yang terjadi jika "tidak terdapat unsur tertentu dalam suatu tindak pidana tertentu" akan berbeda dengan jika "tidak terdapat kemampuan bertanggungjawab pada kasus tertentu". Kedua hal ini berbeda dan mempunyai akibat hukum yang berbeda pula.

Jika hakim mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana, artinya tidak terwujudnya tindak pidana tertentu yang didakwakan, maka putusan hakim berisi "pembebasan dari segala dakwaan" (vrijspraak). Tetapi jika hakim mempertimbangkan bahwa pada diri terdakwa terdapat ketidakmampuan bertanggungjawab (pasal 44 KUHP) maka putusan hakim berisi "pelepasan dari tuntutan hukum" (ontslag van rechtsvervolging).